Konservasi Berbasis Masyarakat pada Skala Besar

Solusi Lengkap
Kawasan Konservasi Perairan di Bentang Laut Kepala Burung. Hak Cipta Conservation International, foto oleh Laure Katz.

Bentang Laut Kepala Burung (BLKB) mengatasi kerusakan habitat akibat penangkapan ikan berlebihan dan eksploitasi sumber daya di Papua Barat, Indonesia, melalui jaringan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) berskala besar yang terhubung secara ekologis dan digerakkan oleh masyarakat untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan meregenerasi perikanan lokal.

Pembaruan terakhir: 30 Sep 2020
8067 Tampilan
Konteks
Tantangan yang dihadapi
Hilangnya ekosistem
Ekstraksi sumber daya fisik
Perubahan dalam konteks sosial-budaya
Kurangnya kapasitas teknis
Kurangnya kesadaran masyarakat dan pengambil keputusan
Pemantauan dan penegakan hukum yang buruk
Tata kelola dan partisipasi yang buruk

Papua sedang mengalami perubahan yang cepat. Selama dua dekade terakhir, ketertarikan terhadap sumber daya alam Papua telah menyebabkan penangkapan ikan yang merusak dan berlebihan oleh para pemburu dari luar, eksplorasi minyak dan gas, serta penambangan nikel, yang semuanya berdampak pada keanekaragaman hayati laut (yang merupakan salah satu yang terkaya di dunia) dan juga pada ketahanan pangan, mata pencaharian, serta nilai-nilai tradisional masyarakat adat Papua.

Skala implementasi
Lokal
Subnasional
Ekosistem
Laguna
Mangrove
Lamun
Terumbu karang
Tema
Pembiayaan berkelanjutan
Tata kelola kawasan lindung dan konservasi
Aktor lokal
Budaya
Perikanan dan akuakultur
Lokasi
Bentang Laut Kepala Burung, Papua Barat, Indonesia
Asia Tenggara
Proses
Ringkasan prosesnya
Strategi BLKB berkembang melalui empat fase yang berbeda, masing-masing dengan fokus yang unik. Fase pertama berfokus pada karakterisasi ilmiah bentang laut (blok bangunan 1), dan pengembangan dukungan sosial dan politik untuk konservasi (blok bangunan 2). Pendekatan bottom-up ini mengarah pada pengembangan jaringan KKP yang dideklarasikan bersama oleh masyarakat lokal dan pemerintah (blok bangunan 3). Fase kedua berfokus pada pengembangan sistem pengelolaan KKP dengan lembaga-lembaga pengelolaan bersama yang memadai (blok bangunan 3 dan 4) untuk memberdayakan masyarakat lokal yang secara aktif memimpin perencanaan, pengelolaan, dan implementasi program, mengembangkan sistem zonasi dan pengelolaan. Untuk memperkuat identitas budaya, konsep tradisional dan modern dari zona larang tangkap digabungkan. Fase ketiga dan keempat difokuskan pada perluasan dukungan melalui legislasi yang kuat dan sistem tata kelola yang efektif serta mengurangi ketergantungan pada koalisi LSM dan pendanaan donor. Hal ini mencakup pembentukan badan pengelolaan bersama lokal, keterlibatan sektor swasta (blok bangunan 5) dan pengembangan strategi pembiayaan berkelanjutan (blok bangunan 6).
Blok Bangunan
Program Ilmu Manajemen Berbasis Ekosistem
Untuk mengkarakterisasi Bentang Laut secara ilmiah, koalisi Bentang Laut Kepala Burung meluncurkan Program Ilmu Pengetahuan Pengelolaan Berbasis Ekosistem (EBM) yang komprehensif dan interdisipliner pada tahun 2004. Program EBM ini mencakup 18 penelitian mutakhir gabungan dari berbagai disiplin ilmu, termasuk ekologi, oseanografi fisik, perikanan, ekonomi lingkungan, ilmu sosial, ilmu politik dan antropologi. Dengan bekerja lintas disiplin ilmu, program EBM menghasilkan sejumlah besar informasi berharga yang memandu pengembangan strategi EBM Bentang Laut. Setelah disintesiskan, hasil dari program ilmu pengetahuan EBM menjadi dasar bagi desain jejaring KKP BLKB. Untuk memastikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat lokal, jejaring KKP dirancang dalam skala yang cukup besar untuk membangun kembali dan memelihara stok ikan karang lokal, melindungi keanekaragaman hayati yang penting secara global dan menjaga fungsi dan proses ekosistem, sekaligus memberikan perlindungan yang kuat bagi masyarakat yang paling rentan di Papua.
Faktor-faktor pendukung
- Kesadaran dan dukungan dari pemerintah dan masyarakat - Kepemimpinan ilmiah dan teknis dari LSM dan mitra universitas, termasuk kemampuan untuk mensintesis studi multidisiplin untuk mendukung perencanaan interdisipliner - Dukungan finansial dari donor yang berkomitmen
Pelajaran yang dipetik
Mulailah dengan fleksibel dan berpikir secara lokal: Sebelum memulai pengembangan PLK, ada kebutuhan untuk memahami nuansa bentang laut: ilmu pengetahuan, budaya, sistem tata kelola, aspirasi masyarakat, dan konfliknya. Setelah semua informasi ini tersedia, informasi ini dapat digunakan untuk menumbuhkan kondisi yang memungkinkan. Studi yang paling berguna dari program EBM adalah pemetaan penguasaan lahan oleh masyarakat yang tidak terduga. Hasil dari studi pemetaan tenurial masyarakat yang dilakukan selama satu tahun tidak hanya memberikan pengetahuan yang mendalam kepada tim BHS tentang dinamika dan aspirasi masyarakat, tetapi juga memberikan informasi yang sangat berharga tentang wilayah yang dapat dilindungi dengan sedikit konflik atau di mana perlindungan justru dapat membantu mengurangi konflik yang ada di masyarakat.
Dukungan dan kemitraan sosial dan politik
Untuk membangun dukungan sosial dan politik, CI membentuk koalisi mitra di seluruh bentang laut. Kami secara aktif terlibat dengan lebih dari 90 komunitas pesisir yang tersebar untuk membangun kepercayaan dan dukungan masyarakat, sambil bertukar pikiran tentang pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan dan manfaat konservasi. Melalui berbagai strategi komunikasi dan edukasi yang inovatif, tim kami mampu memperkuat dampaknya terhadap kesadaran dan komitmen masyarakat terhadap konservasi laut dalam skala geografis yang luas. Tim melatih petugas konservasi masyarakat untuk setiap desa dan membekali para pemimpin agama dengan pelatihan lingkungan, sehingga mereka dapat menyebarkan pesan konservasi secara luas. Tim ini membina para pejuang konservasi di seluruh wilayah, yang secara perlahan bekerja untuk mengubah sikap terhadap penggunaan sumber daya dan konservasi. Gerakan konservasi laut meluas ke seluruh Bentang Laut melalui program radio konservasi yang sangat populer dan ruang kelas terapung yang berkeliling di sekitar wilayah tersebut untuk memberikan pembelajaran berdasarkan pengalaman. Upaya penjangkauan ini bahkan lebih sukses dari yang diperkirakan, yang mengarah pada tindakan yang relatif cepat oleh masyarakat dan pemerintah setempat. Bersama-sama mereka membentuk jaringan KKP pertama di Indonesia.
Faktor-faktor pendukung
- Strategi keseluruhan untuk Bentang Laut Kepala Burung berhasil dengan baik dalam konteks budaya Melanesia yang menghargai kepemilikan laut. - Inisiatif bentang laut apa pun membutuhkan lembaga utama dan mitra untuk berkomitmen untuk terlibat dalam jangka waktu yang signifikan, memiliki strategi dan visi jangka panjang. - Pendanaan yang signifikan dan komitmen donor untuk bermitra dalam jangka panjang untuk mencapai keberhasilan skala bentang laut.
Pelajaran yang dipetik
Kemitraan merupakan hal yang sangat penting di BLKB dan memungkinkan konservasi dilakukan pada skala bentang laut yang sesungguhnya. Pada tahun 2004, Conservation International (CI) menjalin kerjasama yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan The Nature Conservancy (TNC) dan WWF-Indonesia di Papua, dengan meluncurkan Prakarsa Bentang Laut Kepala Burung. Kemitraan ini telah berkembang selama bertahun-tahun dengan melibatkan lebih dari 20 mitra pusat, yang sebagian besar merupakan lembaga lokal. Integrasi aspirasi masyarakat ke dalam proses desain jejaring KKP, yaitu dengan fokus pada peningkatan perikanan lokal yang berkelanjutan (ketahanan pangan) dan penguatan hak-hak pengguna sumber daya tradisional, budaya dan tenurial, menghasilkan deklarasi jejaring KKP BLKB dengan cepat.
Pengembangan jaringan KKL yang terhubung secara ekologis
Dengan adanya jejaring KKP yang baru saja dideklarasikan, koalisi berfokus pada pengembangan sistem pengelolaan yang memberdayakan masyarakat lokal untuk secara aktif memimpin perencanaan, pengelolaan, dan pelaksanaan program jejaring KKP BLKB. Batas-batas KKP serta zona-zona di dalamnya sebagian besar didasarkan pada batas-batas kepemilikan, bukan pada batas-batas administratif. Untuk memperkuat identitas budaya di dalam KKP, tradisi sasi (penutupan panen musiman) di Papua dipadukan dengan konsep modern zona larang tangkap (NTZ) sebagai cara untuk menghidupkan kembali praktik budaya yang penting ini. Di dalam setiap KKP, minimal 20-30% dari semua habitat kritis ditutup sepenuhnya untuk eksploitasi di dalam NTZ yang berfungsi sebagai "bank ikan". Area di luar NTZ sebagian besar dibatasi untuk penangkapan ikan tradisional oleh masyarakat lokal dan menggunakan praktik pengelolaan perikanan berkelanjutan. Masyarakat dan pemerintah daerah kemudian dibekali dengan keterampilan dan infrastruktur yang diperlukan untuk secara aktif mengelola dan menegakkan kawasan lindung mereka sendiri. Dengan cara ini, KKP dirancang tidak hanya untuk melindungi modal alam yang penting, tetapi juga secara eksplisit untuk meningkatkan perikanan lokal berskala kecil dan untuk memperkuat hak-hak kepemilikan masyarakat Papua.
Faktor-faktor pendukung
- Komitmen dan dukungan masyarakat yang kuat - Komitmen, dukungan, dan kemauan pemerintah - Kerangka hukum yang ada - Kepemilikan laut yang ada - Dukungan teknis dan finansial
Pelajaran yang dipetik
Menggunakan proses konservasi sebagai sarana untuk memperkuat hak dan budaya masyarakat lokal. KKL didelineasi dengan menggunakan batas-batas kepemilikan adat dan bukan hanya batas-batas administratif. Setiap KKP yang dideklarasikan secara lokal pertama kali diumumkan melalui upacara lokal oleh dewan pemimpin adat setempat. Patroli gabungan melibatkan anggota masyarakat dan petugas polisi, dengan anggota masyarakat membawa otoritas tradisional dan tenaga kerja, dan petugas polisi menambahkan tingkat otoritas hukum dan pelatihan tambahan. Patroli ini menggunakan sistem partisipasi "bergilir" di mana individu-individu ditunjuk oleh kepala desa untuk melakukan "tour of duty" selama dua minggu, dan kemudian digantikan oleh tim baru yang terdiri dari penduduk desa. Dengan cara ini, selama satu tahun, mayoritas laki-laki dewasa di suatu desa akan meluangkan waktu setidaknya dua minggu untuk berpatroli di KKP mereka, dan selama itu mereka akan mengembangkan rasa pemahaman dan kepemilikan yang lebih kuat terhadap KKP.
Kapasitas yang memadai dan lembaga-lembaga pengelolaan bersama
Untuk membangun pengelolaan lokal yang efektif, koalisi BLKB secara aktif mencari dan merekrut pemimpin masyarakat yang energik untuk mengambil peran pengelolaan KKP dan kemudian selama enam tahun berikutnya secara sistematis membangun kapasitas mereka untuk mengelola sumber daya laut mereka secara efektif melalui program pelatihan yang ditargetkan dan bimbingan satu per satu. Tim BLKB meluncurkan Program Peningkatan Kapasitas Pengelolaan KKP yang komprehensif melalui kemitraan dengan pemerintah provinsi dan Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional Amerika Serikat (NOAA). Program ini dirancang untuk menjadikan para pemimpin desa setempat, praktisi KKP lokal, dan pejabat pemerintah daerah menjadi pengelola KKP yang sangat efektif dan patut dicontoh. Koalisi ini juga bekerja sama secara langsung dengan pemerintah daerah dan nasional untuk mengembangkan sistem tata kelola pengelolaan KKP pertama di Indonesia, serta membantu membentuk lembaga-lembaga pengelolaan KKP pemerintah yang baru, yang di dalamnya tim-tim KKP dari masyarakat setempat dapat diikutsertakan. Lembaga-lembaga baru ini juga membutuhkan dukungan pengembangan kapasitas yang cukup besar karena mereka memperkuat kapasitas manajemen kelembagaan mereka. Melalui investasi ini, jaringan KKP sekarang dikelola secara lokal melalui kemitraan yang diakui secara hukum antara masyarakat lokal dan pemerintah daerah.
Faktor-faktor pendukung
- Komitmen masyarakat yang kuat - Dukungan dari pemerintah - Kerangka hukum - Kesediaan para pemimpin untuk mengambil peran sebagai pengelola KKL - Dukungan teknis dan keuangan untuk pelatihan dan pendampingan yang ditargetkan
Pelajaran yang dipetik
Komitmen pemerintah adalah kunci untuk mencapai kerangka kerja yang diperlukan dan dengan demikian persetujuan sistem pengelolaan bersama KKL. Implementasi membutuhkan lembaga pemerintah yang bertanggung jawab, dan kerangka hukum untuk dewan yang memiliki fleksibilitas dan otonomi untuk mengelola sumber pendanaan tetap dan merekrut pegawai non-PNS. Kebijakan dan peraturan di tingkat nasional dan daerah memberikan dasar hukum untuk jaringan KKP dan mandat untuk implementasi yang efektif dari rencana pengelolaan KKP, sistem zonasi, dan peraturan. Tumpang tindih yurisdiksi untuk pengelolaan KKP individu dan rencana jaringan nasional harus dipertimbangkan sejak dini. Komitmen untuk mempekerjakan secara lokal dan kemudian berinvestasi dalam pengembangan kapasitas dianggap penting untuk keberhasilan jangka panjang jaringan KKP. Pendekatan ini menunjukkan bahwa konservasi berbasis masyarakat pada skala besar adalah mungkin: konservasi bottom-up yang benar dan berbasis masyarakat tidak harus terbatas pada skala kecil dan masyarakat lokal dapat mengelola KKL skala sangat besar secara efektif.
Keterlibatan sektor swasta
Industri pariwisata dikembangkan secara sistematis untuk memotivasi pemerintah dalam melindungi sumber daya alam dari eksploitasi berlebihan dan memprioritaskan jalur pembangunan yang lebih berkelanjutan. Tim ini bekerja sama dengan pemilik bisnis pariwisata dalam menerapkan ekowisata, termasuk homestay yang dimiliki oleh masyarakat setempat, dan memperjuangkan terciptanya sistem retribusi wisatawan yang transparan dan akuntabel, yang kini menghasilkan lebih dari $ 1.000.000 per tahun dalam bentuk pendapatan yang disalurkan untuk konservasi laut dan pengembangan masyarakat. CI juga mendukung dinas pariwisata setempat dan asosiasi operator tur untuk mengambil langkah-langkah sukarela dan peraturan untuk memastikan praktik-praktik terbaik pariwisata. Mulai dari mengembangkan kode etik untuk penyelam dan video pendidikan hingga memasang pelampung tambat untuk memfasilitasi pengembangan undang-undang pariwisata komprehensif pertama di Indonesia (sekarang menjadi model nasional) yang membatasi jumlah liveaboard, melembagakan sistem perizinan, dan memberikan pedoman yang ketat untuk pembangunan pesisir. Industri pariwisata, yang telah menjadi bagian yang semakin besar dari ekonomi lokal, sekarang menjadi insentif yang kuat untuk menjaga kesehatan ekosistem dan memprioritaskan industri yang berkelanjutan di atas industri pertambangan dan industri ekstraktif lainnya.
Faktor-faktor pendukung
- Keberadaan atau potensi yang signifikan untuk pengembangan industri pariwisata - Minat dan komitmen masyarakat - Dukungan dari penyedia layanan dan pemerintah - Mekanisme hukum untuk memungut retribusi
Pelajaran yang dipetik
erkembangan industri pariwisata yang sistematis dan terkendali merupakan katalisator utama bagi konservasi di Kepala Burung, terutama untuk memprovokasi pemerintah agar melakukan perubahan untuk melindungi sumber daya alam dari eksploitasi yang berlebihan dan mengutamakan inisiatif tersebut. Setelah bertahun-tahun keterlibatan khusus dan perhatian media, ada juga pergeseran yang jelas dalam upaya pemerintah untuk memprioritaskan pariwisata sebagai salah satu pendorong ekonomi utama bagi Papua. Menteri Pertambangan dan Energi telah membuat banyak pernyataan publik yang kuat di media bahwa Raja Ampat terlarang untuk pertambangan karena pentingnya konservasi dan pariwisata. Pergeseran lain ke arah pariwisata dicontohkan pada tahun 2012 ketika pemerintah Raja Ampat mengesahkan peraturan DPRD yang melarang penangkapan hiu dan pari. Peraturan ini merupakan peraturan pertama yang memberikan perlindungan penuh terhadap hiu dan pari di Indonesia dan merupakan suaka resmi pertama di Segitiga Terumbu Karang.
Strategi pembiayaan berkelanjutan

Pemerintah daerah saat ini bekerja sama dengan LSM dan komunitas filantropi untuk melakukan transisi dari inisiatif yang digerakkan oleh LSM internasional dan didanai oleh donor menjadi inisiatif yang secara efektif dikelola sepenuhnya oleh lembaga lokal dan didanai secara berkelanjutan. Jika berhasil, ini akan menjadi jaringan KKP pertama di Indonesia yang dibiayai secara berkelanjutan dan akan menjadi model di seluruh Indonesia dan kawasan. Keberlanjutan keuangan jaringan KKP akan dicapai melalui diversifikasi sumber pendapatan termasuk alokasi pemerintah, biaya pengunjung dan mekanisme pembiayaan lokal lainnya, penggalangan dana lokal, dan dana perwalian konservasi. Koalisi BLKB mengembangkan model biaya yang komprehensif dan rencana bisnis yang memproyeksikan biaya, pendapatan, dan kesenjangan bentang laut di bawah sistem pengelolaan "kondisi mantap" yang diharapkan sudah ada pada tahun 2017. Lebih dari 70% biaya lokal telah dijamin melalui sumber-sumber lokal, dengan kontributor terbesar adalah pemerintah sendiri. Meskipun komitmen lokal ini belum pernah terjadi sebelumnya, investasi tambahan diperlukan untuk memastikan bentang laut yang sepenuhnya bersumber daya berkelanjutan. Koalisi ini bekerja sama dengan pemerintah provinsi untuk mengembangkan dana perwalian khusus, Dana Abadi Biru, untuk mengisi kesenjangan tersebut.

Faktor-faktor pendukung
  • Keahlian Keuangan Konservasi
  • Dukungan dan komitmen pemerintah
Pelajaran yang dipetik

Jangka panjang tidak selamanya. Pendanaan yang berkelanjutan sangat penting untuk keberhasilan jangka panjang dari setiap inisiatif konservasi, terutama pada skala besar. Pada awal komitmen satu dekade di Papua Barat, tim membuat rencana untuk memastikan transisi yang stabil dari inisiatif yang dipimpin oleh LSM dan bergantung pada donor internasional menjadi inisiatif yang memiliki kepemimpinan dan kepemilikan lokal yang kuat.

Dampak

BLKB termasuk jaringan KKP pertama di Indonesia yang dikelola secara efektif, dengan sistem pengelolaan bersama pertama yang ditetapkan secara hukum, dan memiliki nilai efektivitas pengelolaan KKP tertinggi di Indonesia dengan nilai rata-rata 73%. Ancaman telah berkurang. Tim patroli KKP mampu mengurangi praktik penangkapan ikan yang merusak hingga kurang dari 1% nelayan di KKP Raja Ampat. Penangkapan ikan secara ilegal oleh pemburu dari luar berkurang lebih dari 90%. Pemerintah melarang penambangan dan penangkapan hiu dan pari, dan sebagai hasilnya, Raja Ampat telah menjadi tujuan wisata kelas dunia dengan tingkat pertumbuhan pariwisata tahunan rata-rata 30%. Kesehatan ekosistem dan perikanan lokal mulai pulih. Di Raja Ampat, rata-rata peningkatan tutupan karang hidup di seluruh KKP adalah ~12% sejak pembentukan KKP. Rata-rata peningkatan biomassa ikan di seluruh KKP adalah ~114%. Nelayan lokal sekarang menangkap lebih banyak ikan dengan tingkat upaya yang sama. Pada akhirnya, tujuannya adalah agar masyarakat lokal Papua dapat meningkatkan ketahanan pangan, mata pencaharian, warisan budaya, dan hak-hak mereka. Bukti di lapangan menunjukkan hasil yang signifikan, dengan masyarakat menangkap lebih banyak ikan, merevitalisasi praktik-praktik tradisional, dan menemukan peluang mata pencaharian baru di sektor pariwisata yang sedang berkembang.

Penerima manfaat
  • Masyarakat adat Papua
  • Pemerintah kabupaten setempat
  • Wisatawan ramah lingkungan
Cerita

Raja Ampat - yang secara harfiah berarti "empat raja" terdiri dari empat pulau besar: Waigeo, Batanta, Salawati dan Misool, serta ratusan pulau kecil. Luasnya mencapai 4,5 juta hektar dan merupakan rumah bagi 60.000 orang. Raja Ampat merupakan rumah bagi 75 persen dari semua spesies karang yang diketahui, 1.470 ikan karang, delapan jenis paus, dan tujuh jenis lumba-lumba. Hutan bakau di sini memiliki karang-karang lunak yang unik, sementara pantai-pantainya merupakan tempat penetasan penyu hijau dan penyu sisik yang terancam punah. Purwanto, penasihat teknis kawasan konservasi perairan Bird's Head dari TNC, mengatakan bahwa eksploitasi laut yang berlebihan telah mencapai Papua, sementara permintaan akan makanan laut segar meningkat di seluruh dunia. Untungnya, upaya konservasi bersama telah dibentuk oleh pemerintah daerah, masyarakat setempat dan organisasi lingkungan untuk melindungi 4,5 juta hektar di zona Raja Ampat. Pada tahun 2006, sebuah jaringan kawasan konservasi perairan (KKP) Raja Ampat telah dibentuk, yang mencakup 1 juta hektar wilayah pesisir dan laut. KKP telah menerapkan sistem zonasi yang mengatur tempat mana yang dapat digunakan untuk menangkap ikan dan mana yang benar-benar tertutup untuk semua kegiatan kecuali untuk tujuan ilmiah. "Melalui sistem zonasi, kami menyisihkan 20 hingga 30 persen habitat kritis untuk dilindungi dan dapat menjamin keberlanjutan perikanan di seluruh Raja Ampat," kata Purwanto. KKP ini juga mencakup sasi, tindakan konservasi tradisional setempat yang menutup area yang rusak hingga pulih kembali. TNC dan CI merekrut masyarakat lokal untuk bekerja bersama mereka dan melatih mereka. Beberapa menjangkau penduduk desa untuk meningkatkan kesadaran dan mendidik anak-anak tentang konservasi melalui pembelajaran yang menyenangkan, beberapa mengambil bagian dalam regu patroli laut, sementara yang lain bergabung dengan tim pemantau bawah laut. Lukas Rumetna, manajer portofolio Kepala Burung TNC, mengatakan bahwa setelah bertahun-tahun membangun keterampilan dan komitmen masyarakat setempat, mereka siap untuk melanjutkan upaya konservasi secara mandiri. "Sebagian besar dari mereka telah memahami peran mereka dalam mengelola KKL. Beberapa tugas mungkin masih membutuhkan bantuan kami, tetapi secara keseluruhan mereka telah dibekali dengan pengetahuan," katanya. "Dan karena kami akan segera pergi, masyarakat setempat akan bekerja sama dengan unit pengendali teknis dari pemerintah daerah yang akan menggantikan tugas kami di sini."

Terhubung dengan kontributor
Kontributor lainnya
Laure Katz
Conservation International
Keith Lawrence
Conservation International