Lokasi pembelajaran kawasan konservasi perairan untuk Segitiga Terumbu Karang

Pentingnya ekologi yang tinggi dari tiga pulau di Nusa Penida, Bali, Indonesia yang terletak di jantung Pusat Segitiga Terumbu Karang digunakan untuk mengembangkan situs pembelajaran KKL. Program ini mengatasi kurangnya formalisasi pengelolaan sumber daya alam dan perlindungan keanekaragaman hayati laut yang tidak memadai dengan strategi kelembagaan utama untuk mendorong platform untuk pembelajaran di lapangan dan berbagi pengetahuan dan keterampilan tentang konservasi laut tropis.
Konteks
Tantangan yang dihadapi
Penangkapan ikan tanpa izin, limbah dan polusi, penambangan karang dan dampak perubahan iklim Nusa Penida memiliki 45.000 penduduk yang bergantung pada sumber daya laut, termasuk ikan dan rumput laut. Sekitar 200.000 wisatawan per tahun mengunjungi pulau ini. Solusi ini mengatasi masalah penangkapan ikan tanpa izin, limbah dan polusi, penambangan karang, serta dampak perubahan iklim, termasuk kenaikan suhu air laut, kenaikan permukaan air laut, dan pergeseran musim penangkapan ikan yang mengancam keanekaragaman hayati, ekosistem, dan mata pencaharian.
Lokasi
Proses
Ringkasan prosesnya
Keenam blok bangunan adalah bagian dari pendekatan langkah demi langkah dari bawah ke atas untuk mencapai solusi. Pengumpulan data dasar (blok bangunan 1) adalah masukan yang diperlukan untuk pengembangan konsultatif yang sukses dalam zonasi KKP dan rencana pengelolaannya dengan semua pemangku kepentingan (Blok bangunan 2). Sebagai hasilnya, proses pengelolaan kolaboratif dapat dimulai dengan berkomitmen dan menyatukan semua pemangku kepentingan yang terkait (Blok bangunan 4). Opsi-opsi untuk mekanisme pembiayaan berkelanjutan (Blok bangunan 3) dan restorasi ekologi (Blok bangunan 5) disusun selama proses konsultatif pengembangan zonasi dan rencana pengelolaan (Blok bangunan 2) dan dilanjutkan melalui pengelolaan kolaboratif semua pemangku kepentingan (Blok bangunan 4). Proses dan keberhasilan pengelolaan kolaboratif KKP, pemanfaatan jasa ekosistem dan ekowisata laut untuk menghasilkan dana dan pendapatan bagi masyarakat digunakan bersama untuk mendukung lokasi lainnya (Blok bangunan 6). Pembentukan situs pembelajaran kawasan konservasi perairan untuk Segitiga Terumbu Karang dimungkinkan melalui dukungan pemerintah, sektor swasta, dan LSM (CTC) yang berkesinambungan sejak awal.
Blok Bangunan
Pengumpulan data dasar
Faktor-faktor pendukung
Pelajaran yang dipetik
Pengembangan konsultatif: zonasi dan rencana pengelolaan
Faktor-faktor pendukung
Pelajaran yang dipetik
Mekanisme pembiayaan berkelanjutan
Coral Triangle Center mengembangkan sistem biaya masuk yang diformalkan oleh Peraturan Daerah berdasarkan survei 'kemauan untuk membayar'. Survei tersebut mengindikasikan bahwa wisatawan yang berkunjung ke Nusa Penida akan membayar antara USD5 - USD10 per kunjungan. Namun, Pemerintah Kabupaten hanya menyetujui untuk memungut USD1 per kunjungan untuk menghindari penurunan jumlah wisatawan. Pada tahun pertama, biaya yang terkumpul mencapai USD140.000. Namun, rencana bisnis 20 tahun untuk KKP, menunjukkan kebutuhan USD600.000 per tahun (skenario minimum) dan USD800.000 per tahun (skenario maksimum). Dengan demikian, saat ini biaya masuk mencakup sekitar 25% dari biaya pengelolaan KKP (skenario minimum). Pemerintah Kabupaten akan meningkatkan biaya masuk secara bertahap menjadi USD5 dalam 10 tahun. Dengan asumsi 200.000 pengunjung per tahun, biaya masuk akan mencapai USD1 juta per tahun, bahkan lebih tinggi dari biaya skenario maksimum. Sumber pendapatan lain untuk menutupi 20% dari biaya pengelolaan berasal dari anggaran Pemerintah, cinderamata dan barang dagangan, perjalanan pendidikan dan kolaborasi dengan LSM dan donor lainnya. Selain meningkatnya biaya pengelolaan, tantangan saat ini termasuk pengalihan wewenang dan tugas seperti memungut biaya masuk dari Pemerintah Kabupaten ke Pemerintah Provinsi Bali karena adanya perubahan hukum nasional.
Faktor-faktor pendukung
- Industri pariwisata yang penting atau potensi pariwisata
- Manfaat yang sudah dirasakan masyarakat dari ekowisata bahari sebelum KKL ditetapkan
- Kerja sama dari perusahaan swasta dan operator wisata bahari dan pesisir
Pelajaran yang dipetik
- Perlu adanya sistem yang akuntabel dan transparan dalam pengumpulan biaya masuk dan sistem pembelanjaan yang jelas untuk mendukung pelayanan dan pengelolaan KKP secara langsung. Hal ini untuk memastikan kredibilitas pengelolaan KKP dan juga kepercayaan wisatawan yang membayar biaya masuk.
- Manajemen adaptif diperlukan untuk menyesuaikan diri dengan situasi yang berubah atau tidak terduga seperti undang-undang baru dan pengalihan wewenang.
Manajemen kolaboratif dari semua pemangku kepentingan
Faktor-faktor pendukung
Pelajaran yang dipetik
Restorasi ekologi
Faktor-faktor pendukung
Pelajaran yang dipetik
Berbagi pengalaman untuk mendukung situs lain
Faktor-faktor pendukung
Pelajaran yang dipetik
Dampak
Kondisi terumbu karang dan populasi ikan tetap stabil berdasarkan survei pemantauan kesehatan terumbu karang tahunan.
Spesies karismatik dan unggulan seperti Mola mola dan pari manta dilindungi sepenuhnya, dan wisata selam dari Bali ke Nusa Penida berkelanjutan.
Ekowisata bahari berhasil dikembangkan, termasuk wisata bakau, dengan bakau menjadi salah satu target konservasi KKP. Bahkan, KKP telah mendorong citra hijau wisata bahari Nusa Penida. Pada tahun 2016, sebanyak 256.000 orang mengunjungi KKP Nusa Penida. Pada tahun yang sama, KKP Nusa Penida untuk kedua kalinya meraih penghargaan nasional sebagai salah satu KKP dengan tingkat efektivitas pengelolaan tertinggi di Indonesia. KKP Nusa Penida berkembang menuju tingkat efektivitas pengelolaan biru (75%) berdasarkan alat Evaluasi Nasional (E-KKP3K) oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ini adalah peringkat ke-2 tertinggi dari 5 tingkat.
Data menunjukkan bahwa penangkapan ikan di KKP Nusa Penida oleh nelayan Nusa Penida dan nelayan luar berkelanjutan dan stok ikan tetap terjaga.
Penerima manfaat
nelayan lokal, industri perikanan, petani rumput laut, operator wisata bahari, dan wisatawan
Cerita
Ketika orang-orang di Nusa Penida memulai budidaya rumput laut pada tahun 1984, mereka menebang pohon bakau untuk membuat tambak. Penebangan pohon bakau kurang lebih merupakan bagian dari rutinitas sehari-hari. Sepuluh tahun kemudian, penduduk menyadari bahwa lautan semakin mendekat dan tidak lagi berhenti di halaman belakang rumah mereka. Alasannya tampak jelas: penebangan hutan bakau. Masyarakat mulai melihat hutan bakau tidak hanya sebagai sumber kayu, tetapi juga sebagai sarana perlindungan pantai. Pada saat yang sama, semakin banyak wisatawan yang mengunjungi pulau ini dan cukup banyak yang tertarik untuk melihat hutan bakau. Dengan demikian, penduduk setempat mulai mengatur wisata mangrove. Sepuluh tahun kemudian, The Nature Conservancy memprakarsai pelatihan pendidikan kelautan di pulau ini, termasuk penanaman kembali bakau dan pengembangan bank benih bakau. CTC melanjutkan kegiatan ini dan mengembangkan KKL bersama dengan pemerintah dan masyarakat setempat, yang memungkinkan penduduk pulau untuk mengembangkan pariwisata. Masyarakat lokal terhubung dengan operator tur profesional dan promosi yang ditargetkan membawa lebih banyak pengunjung secara teratur. Saat ini, sekitar 35 hingga 50 orang per hari mendaftar untuk mengikuti tur bakau. Hal ini membunuh dua burung dengan satu batu, tapi untungnya tidak ada dua ikan dengan satu cacing: pengunjung belajar tentang keanekaragaman hayati laut dan pentingnya perlindungan pesisir sementara masyarakat lokal mendapatkan penghasilan tambahan dan meninggalkan praktik-praktik yang merusak. Upaya luar biasa dari Nusa Penida telah diakui. Pulau ini menerima penghargaan nasional dari Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai contoh yang baik untuk KKP yang dikelola dengan paling efisien. Direktur eksekutif CTC, Rili Djohani, menyatakan "Nusa Penida telah menjadi permata dalam sistem kawasan konservasi perairan di Indonesia, sebagai salah satu KKP yang paling terencana dan terzonasi dengan baik di Segitiga Terumbu Karang melalui pengelolaan kolaboratif dari bawah ke atas, yang memberikan kontribusi terhadap mata pencaharian dan ekonomi masyarakat sekaligus melindungi kekayaan hayati dunia untuk generasi yang akan datang."